Lalu bagaimana dengan nasib para pemikul tandunya? Berikut tulisan tentang nasib mereka yang saya ambil dari malangraya.web.id
Anda mungkin tak akan lupa foto yang ada di buku sejarah. Kalau melihat gambar hitam putih ada orang ditandu, kita langsung berpikir. Jederal Sudirman. Kini tandu tersebut diabadikan di museum Museum Satria Mandala. Lalu bagaimana dengan nasib para pemikul tandunya? Berikut tulisan tentang nasib mereka yang saya ambil dari malangraya.web.id
2 Comments
Koin dinar dari Dinasti Umayyah. Dailymail.co.uk
London: Sebuah koin dinar dari Dinasti Umayyah, kerajaan Arab pertama dilelang di London, pada Mei 2013. Uang logam yang dibuat tahun 690 ini dicetak di Damaskus, Suriah. Terbuat dari emas, koin ini memiliki berat empat gram. "Koin ini diharapkan dapat dilepas dengan harga 500 ribu poundsterling," tulis Mail Online, Senin, 15 April 2013. Angka 500 ribu pondsterling setara dengan Rp 7,4 miliar. Logam mulia itu memiliki ukiran dalam huruf arab gundul. Yakni dua kalimat syahadat pada bagian tengah koin. "Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah." Kata Andre Di Clement, kepala koin Islam di Pusat Lelang Baldwin, London, koin ini begitu penting dalam sejarah penyebaran Islam dari India ke Spanyol. Sebab dalam penyebarannya, Umayyah memusnahkan seluruh koin. Kemudian menggantikannya dengan koin buatan khusus Umayyah. "Koin ini digunakan dalam pembiayaan pembangunan Kerajaan Umayyah," kata Clement. "Dan tiap tahun, mereka membuat koin baru." Logam emas bersejarah ini milik seorang kolektor Eropa. Di usia ke-80 tahun, ia telah mengumpulkan koin serupa selama 35 tahun. Dan selama itu, sang kolektor kerap mendatangi lelang di Swiss, Prancis, serta Amerika Serikat, guna melengkapi koleksinya. "Si kolektor memiliki anak dan cucu yang tak tertarik dengan koin bersejarah," ujar Celemnt. "Tidak ingin koin berharga itu menjadi sia-sia, dia pun melelangnya." ref: tempo.co
hantu kemerdekaan pers indonesia
Oleh: Fachrul Khairuddin Pengantar Tempo, majalah mingguan ini terbit perdana pada April 1971 dengan berita utama mengenai cedera parah yang dialami Minarni, pemain badminton andalan Indonesia di Asean Games Bangkok, Thailand. Dimodali Rp 20 juta oleh Yayasan Jaya Raya milik pengusaha Ciputra; digawangi oleh mereka para seniman yang mencintai pekerjaannya dan para wartawan berpengalaman yang dipecat atau keluar dari tempat kerja sebelumnya: Ekspress, Kompas, dan lainnya. Para seniman dan wartawan itu adalah Goenawan Mohamad (Ketua Dewan Redaksi), Bur Rasuanto (Wakil Ketua), Usamah, Fikri Jufri, Cristianto Wibisono, Toeti Kakiailatu, Harjoko Trisnadi, Lukman Setiawan, Syu’bah Asa, Zen Umar Purba, Putu Wijaya, Isma Sawitri, Salim Said, dan lainnya. Satu orang kepercayaan dari Yayasan Jaya Raya juga turut serta mengelola Tempo, yaitu Eric Samola. Mengapa bernama Tempo? Pertama, singkat dan bersahaja, enak diucapkan oleh lidah orang Indonesia dari segala jurusan; kedua, terdengar netral, tidak mengejutkan dan tidak merangsang;ketiga, bukan simbol sebuah golongan, dan keempat, Tempo adalah waktu. Tempo meniru Time? Benar Tempo meniru waktu, selalu tepat, selalu baru. Kalimat ini diiklankan Tempo pada terbitan 26 Juni 1971 guna menjawab surat seorang pembaca yang berkesimpulan bahwa Tempo telah meniru Time. Kesimpulan yang wajar melihat sepintas cover Tempo memang mirip Time: segi empat dengan pinggiran merah. Bahkan, pada 1973, Timemenggugat Tempo melalui pengacara Widjojo, namun akhirnya dapat diselesaikan dengan damai. Edisi pertama Tempo laku sekira 10.000 eksemplar. Disusul edisi kedua yang laku sekira 15.000 eksemplar. Progress penjualan oplah ini menepis keraguan Zainal Abidin, bagian sirkulasi Tempo,yang menganggap majalah ini tidak akan laku. Selanjutnya, oplah Tempo terus meningkat pesat hingga pada tahun ke-10, penjualan Tempo mencapai sekira 100.000 eksemplar. Dalam perjalanannya, terjadi dualisme kepemimpinan di tubuh Tempo antara Goenawan dengan Bur. Keduanya memiliki perbedaan ide dasar. Goenawan ingin Tempo bergaya tulis feature(bercerita), sedangkan Bur cenderung ke news. Keduanya pun sering berbeda paham dan saling bertolak pendapat. Puncaknya pada saat Bur melemparkan air kopi ke arah Goenawan. Tindakan yang dianggap kelewatan oleh Goenawan hingga dia meminta kepada Eric Samola untuk memutuskan, apakah dia yang keluar atau Bur. Akhirnya Bur yang mengundurkan diri dari Tempo. |
PenulisWinarso "memperbaiki lebih baik dari pada menghujat" Arsip
July 2013
Kategori
All
|