Oleh: Ganda Kurniawan
*Alumni Jurusan Sejarah-Universitas Negeri Semarang
*Alumni Jurusan Sejarah-Universitas Negeri Semarang
"...Mahasiswa takut kepada Dosen
Dosen takut kepada Dekan
Dekan takut kepada Rektor
Rektor takut kepada Presiden
Presiden takut kepada Mahasiswa..."
Sebuah Pengantar
Mahasiswa memiliki posisi yang "ekslusif” dalam lingkungan sosialnya. Mereka identik dengan kaum intelejensia sebagai benih yang telah matang. Di Negara maju, mahasiswa akan lebih disambut sebagai calon untuk mempertinggi konstruksi gedung kemajuan Negara. Sedangkan bagi Negara berkembang atau Negara terbelakang, mahasiswa lebih dielukan untuk berperan menyelamatkan negeri dari keterpurukan.
Indonesia sebagai Negara berkembang sempat melewati masa krisis dalam penyelenggaraan Negara, khususnya di tahun 1998. Keterpurukan ini sangat menjamin adanya disintegrasi bangsa. Bukan saja karena semata-mata mutlak atas kebobrokan pemerintah, tapi juga terjerat sebuah permasalahan financial global yang memaksa rakyat Indonesia turut merasakan penderitaan ekonomi yang tidak biasa. Dengan kata lain ini adalah sebuah momentum kebobrokan ganda yaitu penyakit dalam negeri dan penyakit dari luar negeri. Rakyat sewajarnya telah menyerahkan permasalahan ini kepada para wakil-wakil rakyat. Akan tetapi apa daya dalam waktu yang ditentukan masalah belum juga diredam, maka semestinya para pemikir-pemikir eksekutif ini segera dirombak secara paksa. Rakyat menginginkan sebuah tatanan baru dan resolusi baru dalam konstelasi eksekutif.
Sebenarnya hal tersebut masih bisa cukup pihak eksekutif sendiri yang direformasi tanpa mengganti suatu rezim. Akan tetapi karena citra rezim Orde Baru sudah ternodai oleh KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) maka rakyat sudah semestinya menghendaki adanya perubahan rezim untuk memberi suasana warna baru. Namun ketika Pemimpin tetap berkata "tidak” untuk pergantian rezim, maka disinilah elemen rakyat bertindak. Bertindak dengan kapasitas sedikit tentunya merupakan hal yang percuma. Meski macan Orde Baru sudah ompong tapi setidaknya ia masih mempu mengunyah mangsa kecil. Dari sinilah sebuah kesadaran kolektif masyarakat sangat diperlukan, bahwa jika gerakan dengan kapasitas yang besar maka macan Orde Baru ini bisa dilumpuhkan. Itulah yang dinamakan dengan Reformasi.
Lalu bagaimana dengan peran mahasiswa? Soe Hok-Gie seorang aktivis angkatan ’66 memantapkan hakikat mahasiswa ketika dihadapkan dalam permasalahan diatas. Dalam catatan Hariannya tanggal 14 januari 1963 ia menuliskan:
"Dalam keadaan inilah seharusnya kaum intelegensia bertindak, berbuat sesuatu. . . . . . . . Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Merek aharus bisa bebas di segala arus-arus masyarakat yang kacau. Seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena predikat kesarjanaan itu (atau walaupun mereka bukan sarjana). Tetapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya ialah bertindak demi tanggungjawab sosialnya bila keadaan telah mendesak. Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaanya. Ketika Hitler mulai membuas maka kelompok Inge School berkata tidak. Mereka (pemuda-pemuda Jerman ini) punya keberanian untuk berkata "tidak”. Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang pemimpin-pemimpin gang-gang bajingan, rezim Nazi yang semua identik. Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantic) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran”. (Gie. Catatan Seorang Demonstran. Hal.143-144)
Komparasi
Berakhirnya tragedi reformasi ini kita dapat memperoleh berbagai sudut pandang persepsi atas peristiwa yang telah berlalu ini. Untuk objektifnya saya ingin membandingkan dua sudut pandang sekaligus. Yang pertama yaitu sudut pandang dari sisi rakyat dan yang kedua adalah sudut pandang dari seorang pemimpin.
Untuk melihat sudut pandang dari kelompok rakyat (atau bukan golongan penguasa) saya mengintegrasikan 2 buku. Pertama saya membuat ikhtisar dari bukunya Satrio Arismunandar dengan judulBergerak!: Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Orde Baru. Keterkaitannya dengan pers tentunya teorinya lebih bersifat upayanya mentransfer informasi kepada rakyat. Atau bisa juga setidaknya pers telah membantu membentuk persepsi pembaca atau rakyat untuk menindaklanjuti pemerintah.
Bagi S. Arismunandar pergerakan mahasiswa diidentikan dengan gerakan social. Mengacu pada teorinya Turner & Killan yang menganggap gerakan social adalah salah satu bentuk utama dari perilaku kolektif. Secara formal gerakan social didefinisikan sebagai kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri.
Ada sejumlah teori yang mencoba menunjukan akar dari gerakan social. Pertama, Teori deprivasi Relatif. Kedua, Teori Mobilisasi Sumber Daya. Ketiga, Teori Proses-politik.
Di dalam gerakan sosial juga terdapat teori Deprivasi Relatif. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang merasa kecewa karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Gerakan social muncul ketika orang merasa diabaikan atau tidak diperlakukan semestinya, relative dibandigkan dengan perlakuan terhadap orang lain atau bagaimana seharusnya mereka diperlakukan.
Dalam kaitan gerakan mahasiswa 1998, teori diatas cukup relevan. Krisis ekonomi yang parah semenjak Juli 1997 menimbulkan kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Masyarakat kelas menengah Indonesia, yang selama ini terkesan tenang dan patuh kepada rezim mulai gelisah dan mulai mendukung dalam gerakan reformasi. Keikutsertaan tersebut tampaknya dipicu oleh kepentingan mereka yang mulai terganggu oleh pembusukan system Orde Baru di bawah Soeharto, yang perosesnya dipercepat dengan terjadinya krisis ekonomi. Berbagai pemberitahuan pers nasional pada periode awal 1998 menjelang kejatuhan Soeharto menunjukan, bagaimana lapisan kelas menengah perkotaan ini mendukung gerakan mahasiswa dengan pasokan dana dan logistic dalam aksi-aksinya.
Sedangkan mahasiswa turun ke jalan selain karena kondisi objektif yang telah disebutkan diatas, juga ada kondiisi subjektif langsung berhubungan dengan kepentingan mahasiswa. Kondisi subjektif karena kondisi krisis ekonomi itu antara lain berupa meningkatnya biaya kebutuhan hidup, juga biaya untuk keperluan kuliah di perguruan tinggi. Dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok, uang dari orang tua yang bisa dialokasikan untuk keperluan akademis juga semakin minim. Bahkan banyak mahasiswa terancam drop out.
Kesulitan uang ini terutama dirasakan para mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS), yang biaya kuliahnya relative lebih tinggi daripada perguruan tinggi negeri (PTN). Maka bisa dipahami bahwa dalam aksi-aksi mahasiswa 1997-1998, terlihat sangat besar peranan mahasiswa dari PTS. Sikap mereka juga tampak lebih radikal.
Krisis ekonomi juga menghasilkan banyak perusahaan ditutup, pengangguran meningakat, dan makin sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Dalam konteks ini mahasiswa juga merasa kepentingannya terancam. Mereka terutama yang sudah kuliah di tingkat akhir tidak melihat urgrnsi untuk cepat menyelesaikan kuliah Karen aprospek lapangan kerja yang suram. Maka memprotes keadaan dengan turun ke jalan tampaknya menjadi pilihan yang wajar.
Mahasiswa memiliki posisi yang "ekslusif” dalam lingkungan sosialnya. Mereka identik dengan kaum intelejensia sebagai benih yang telah matang. Di Negara maju, mahasiswa akan lebih disambut sebagai calon untuk mempertinggi konstruksi gedung kemajuan Negara. Sedangkan bagi Negara berkembang atau Negara terbelakang, mahasiswa lebih dielukan untuk berperan menyelamatkan negeri dari keterpurukan.
Indonesia sebagai Negara berkembang sempat melewati masa krisis dalam penyelenggaraan Negara, khususnya di tahun 1998. Keterpurukan ini sangat menjamin adanya disintegrasi bangsa. Bukan saja karena semata-mata mutlak atas kebobrokan pemerintah, tapi juga terjerat sebuah permasalahan financial global yang memaksa rakyat Indonesia turut merasakan penderitaan ekonomi yang tidak biasa. Dengan kata lain ini adalah sebuah momentum kebobrokan ganda yaitu penyakit dalam negeri dan penyakit dari luar negeri. Rakyat sewajarnya telah menyerahkan permasalahan ini kepada para wakil-wakil rakyat. Akan tetapi apa daya dalam waktu yang ditentukan masalah belum juga diredam, maka semestinya para pemikir-pemikir eksekutif ini segera dirombak secara paksa. Rakyat menginginkan sebuah tatanan baru dan resolusi baru dalam konstelasi eksekutif.
Sebenarnya hal tersebut masih bisa cukup pihak eksekutif sendiri yang direformasi tanpa mengganti suatu rezim. Akan tetapi karena citra rezim Orde Baru sudah ternodai oleh KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) maka rakyat sudah semestinya menghendaki adanya perubahan rezim untuk memberi suasana warna baru. Namun ketika Pemimpin tetap berkata "tidak” untuk pergantian rezim, maka disinilah elemen rakyat bertindak. Bertindak dengan kapasitas sedikit tentunya merupakan hal yang percuma. Meski macan Orde Baru sudah ompong tapi setidaknya ia masih mempu mengunyah mangsa kecil. Dari sinilah sebuah kesadaran kolektif masyarakat sangat diperlukan, bahwa jika gerakan dengan kapasitas yang besar maka macan Orde Baru ini bisa dilumpuhkan. Itulah yang dinamakan dengan Reformasi.
Lalu bagaimana dengan peran mahasiswa? Soe Hok-Gie seorang aktivis angkatan ’66 memantapkan hakikat mahasiswa ketika dihadapkan dalam permasalahan diatas. Dalam catatan Hariannya tanggal 14 januari 1963 ia menuliskan:
"Dalam keadaan inilah seharusnya kaum intelegensia bertindak, berbuat sesuatu. . . . . . . . Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Merek aharus bisa bebas di segala arus-arus masyarakat yang kacau. Seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena predikat kesarjanaan itu (atau walaupun mereka bukan sarjana). Tetapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya ialah bertindak demi tanggungjawab sosialnya bila keadaan telah mendesak. Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaanya. Ketika Hitler mulai membuas maka kelompok Inge School berkata tidak. Mereka (pemuda-pemuda Jerman ini) punya keberanian untuk berkata "tidak”. Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang pemimpin-pemimpin gang-gang bajingan, rezim Nazi yang semua identik. Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantic) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran”. (Gie. Catatan Seorang Demonstran. Hal.143-144)
Komparasi
Berakhirnya tragedi reformasi ini kita dapat memperoleh berbagai sudut pandang persepsi atas peristiwa yang telah berlalu ini. Untuk objektifnya saya ingin membandingkan dua sudut pandang sekaligus. Yang pertama yaitu sudut pandang dari sisi rakyat dan yang kedua adalah sudut pandang dari seorang pemimpin.
Untuk melihat sudut pandang dari kelompok rakyat (atau bukan golongan penguasa) saya mengintegrasikan 2 buku. Pertama saya membuat ikhtisar dari bukunya Satrio Arismunandar dengan judulBergerak!: Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Orde Baru. Keterkaitannya dengan pers tentunya teorinya lebih bersifat upayanya mentransfer informasi kepada rakyat. Atau bisa juga setidaknya pers telah membantu membentuk persepsi pembaca atau rakyat untuk menindaklanjuti pemerintah.
Bagi S. Arismunandar pergerakan mahasiswa diidentikan dengan gerakan social. Mengacu pada teorinya Turner & Killan yang menganggap gerakan social adalah salah satu bentuk utama dari perilaku kolektif. Secara formal gerakan social didefinisikan sebagai kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri.
Ada sejumlah teori yang mencoba menunjukan akar dari gerakan social. Pertama, Teori deprivasi Relatif. Kedua, Teori Mobilisasi Sumber Daya. Ketiga, Teori Proses-politik.
Di dalam gerakan sosial juga terdapat teori Deprivasi Relatif. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang merasa kecewa karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Gerakan social muncul ketika orang merasa diabaikan atau tidak diperlakukan semestinya, relative dibandigkan dengan perlakuan terhadap orang lain atau bagaimana seharusnya mereka diperlakukan.
Dalam kaitan gerakan mahasiswa 1998, teori diatas cukup relevan. Krisis ekonomi yang parah semenjak Juli 1997 menimbulkan kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Masyarakat kelas menengah Indonesia, yang selama ini terkesan tenang dan patuh kepada rezim mulai gelisah dan mulai mendukung dalam gerakan reformasi. Keikutsertaan tersebut tampaknya dipicu oleh kepentingan mereka yang mulai terganggu oleh pembusukan system Orde Baru di bawah Soeharto, yang perosesnya dipercepat dengan terjadinya krisis ekonomi. Berbagai pemberitahuan pers nasional pada periode awal 1998 menjelang kejatuhan Soeharto menunjukan, bagaimana lapisan kelas menengah perkotaan ini mendukung gerakan mahasiswa dengan pasokan dana dan logistic dalam aksi-aksinya.
Sedangkan mahasiswa turun ke jalan selain karena kondisi objektif yang telah disebutkan diatas, juga ada kondiisi subjektif langsung berhubungan dengan kepentingan mahasiswa. Kondisi subjektif karena kondisi krisis ekonomi itu antara lain berupa meningkatnya biaya kebutuhan hidup, juga biaya untuk keperluan kuliah di perguruan tinggi. Dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok, uang dari orang tua yang bisa dialokasikan untuk keperluan akademis juga semakin minim. Bahkan banyak mahasiswa terancam drop out.
Kesulitan uang ini terutama dirasakan para mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS), yang biaya kuliahnya relative lebih tinggi daripada perguruan tinggi negeri (PTN). Maka bisa dipahami bahwa dalam aksi-aksi mahasiswa 1997-1998, terlihat sangat besar peranan mahasiswa dari PTS. Sikap mereka juga tampak lebih radikal.
Krisis ekonomi juga menghasilkan banyak perusahaan ditutup, pengangguran meningakat, dan makin sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Dalam konteks ini mahasiswa juga merasa kepentingannya terancam. Mereka terutama yang sudah kuliah di tingkat akhir tidak melihat urgrnsi untuk cepat menyelesaikan kuliah Karen aprospek lapangan kerja yang suram. Maka memprotes keadaan dengan turun ke jalan tampaknya menjadi pilihan yang wajar.